PEMAHAMAN HADITS SECARA
TEKSTUAL DAN KONTEKSTUAL
Makalah
Guna
memenuhi tugas
Mata
Kuliah Ulumul Hadits
Dosen
pengampu: Bapak Ikhrom,M.Ag
FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2011
BAB
I
PENDAHULUAN
Dalam
hubugannya sebagai sumber pokok ajaran islam, hadis pada umummnya lebih merupakan
penafsiran kontekstual dan situasional atas
- ayat ayat Al quran dalam merespons pertanyaan para sahabat Nabi. dengan demikian hadis
merupakan interpstasi Nabi saw yang dimaksudkan untuk menjadi pedoman bagi para sahabat dalam mengamalkan
ayat- ayat Al quran. Karena kondisi sahabat dan latar
belakang kehidupannya berbeda, maka petunjuk – petunjuk yang diberikan Nabi
berbeda pula. Pada sisi lain,para sahabat pun memeberikan interpretasi yang
berbeda terhadap hadis Nabi. Dari sini, maka hadis pada umumnya bisa bersifat temporal
dan kontekstual.
Situasi
sosial budaya dan alam lingkungan semakin lama semakin terus berubah .dan berkembang..
Dengan semakin jauh terpisahnya hadis dari situasi sosial yang melahirkannya, maka
sebagian hadis nabi sebagian terasa tidak komunikatif lagi dengan realitas
kehidupan sosial saat ini. Karena itu pemahaman atas hadis Nabi merupakan hal
yang mendesak tentu dengan acuan yang dapat dijadikan sebagai standarisasi
dalam memahami hadis. Realitanya hadis Nabi banyak dipahami secara tekstual, bahkan
belakangan gejala ini muncul dikalanagn generasi muda islam,tidak saja di
Indonesia, tetapi juga di banyak negara islam lainnya. pendekatan ini (terhadap
sebagian hadis Nabi merupakan suatu keharusan ) tidak selamanya mampu
memberikan jawaban terhadap persoalan-persoalan yag muncul belakangan, bahkan
menjadi suatu kontradikif sehingga memalingkan kepercayaan terhadap hadis Nabi.
Karena pemahaman seperti ini maka sebagian sarjana–sarjana muslim lantas
menyerang hadis yang tampak kontradiktif dan tidak komunikatif dengan zaman
meskipun ulama hadis menyatakan bahwa hadis tersebut dilihat dari kaedah-kaedah
ilmu hadis yang demikian ketat, validitasnya diakui dan makbul(shahih).
Karena
itu upaya atau pekajian terhada
konteks-konteks hadis merupakan aspek yang sangat penting dalam menangkap makna
hadis yang akan di amalkan, sayangnya menurut Afif Muhammad (Afif Muhammad,1992:25),
pendekatan tekstual atas hadis Nabi belium begitu mendapatkan perhatian.
BAB II
RUMUSAN MASALAH
Betolak
dari Kompetensi dasar Ulumul Hadis pada program kualifikasi bahasa arab
2011/2012 dan sedikit penjelasan tentang pemahaman hadis pada bab I, maka dapat
kami rumuskan sebagai berikut :
1. Cara
memahami teks-teks hadis Rosulullah secara tekstual maupun kontekstual.
2. Alasan-alasan
mengapa teks-teks hadis Rosulullah
dipahami secara secara tekstual maupun kontekstual.
BAB III
PEMBAHASAN
A. Pendekatan
Kontekstual dalam Perkembangan Sejarah
Menurut petunjuk Al quran, Nabi
Muhammad diutus oleh Allah untuk semua umat manusia dan sebagai rahmat untuk
seluruh alam.itu berarti, kehadiran Nabi Muhammad membawa kebajikan dan rahmat
bagi semua umat mausia dalam segala waktu dan tempat, Dalam pada itu, Hidup
Nabi Muhammad dibatasi oleh waktu dan tempat. kalau begitu hadis Nabi, yang
merupakan sumber utama agama islam disamping al Quran, mengandung ajaran yang
bersifat universal, temporal, dan lokal tersebut.
Menurut petunjuk Al quran, Nabi
Muhammad selain dinyatakan sebagai rasulullah, juga dinyatakan sebagai manusia
biasa. Dalam sejarah Nabi Muhammad berperan banyak fungsi , antara lain sebagai
rasulullah, kepala negara, pemimpin masyarakat, panglima perang, hakim, dan
pribadi. Kalau begitu, hadis yang merupakan sesuatu yang berasal
dari Nabi mengandung petunjuk yang pemahaman dan penerapannya perlu dikaitkan
juga dengan peran Nabi tatkala hadis itu terjadi.(Syuhudi ismail,1994:2)Jadi keberadaan
rasulullah s.a.w – peran apa yang sedang beliau mainkan-menjadi acuan untuk
memahami hadis secara tepat dan proposional. Melalaui pendekatan tekstualkah
atau kontekstualkah agar hadis tetap sholihun likullizamanin wamakanin.
(http://media.isnet.org.islam/quraisy memebumi/hadis.html)
B. Istilah
Kontekstual
Kata “kontekstual”
berasal dari “konteks” yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia mengandung dua
arti: 1. bagian sesuatu uraian atau kalimat yang dapat mendukung atau menambah
kejelasan makna; 2. situasi yang ada hubungan dengan suatu kejadian.(Tim
Penyusun Kamus: 1989: 458). Kedua arti ini dapat digunakan karena tidak
terlepas istilah dalam kajian pemahaman Hadis. Dalam bahasa Arab digunakan istilah
‘alaqoh, qarinah,syiyaq al-kalam, dan qarain al-ahwal.(Imam Bsyari
Anwar,1987:216 )
Secara garis
besar ada dua tipologi pemahaman ulama
atas hadis:
1.
Pemahaman atas hadis Nabi tanpa mempedulikan
proses sejarah yang melahirkannya - ahistoris -.Tipologi ini dapat
disebut Tekstualis. Atau menurut suryadi tekstualis adalah sebuah istilah yang
dinisbatkan pada ulama yang dalam memmahami hadis cenderung memfokuskan pada
data riwayat dengan menekankan kupasan dari sudut gramatikal bahasadengan pola
pikir episteme bayani. Eksesnya,pemikiran-pemikiran ulama ulama terdahulu
difahami sebagai sesuatu yang final dan dogmatis(suryadi,2001:141)
2.
Pemahaman kritis dengan memepertimbangkan
asal-usul (asbab al-wurud) hadis. Tentu saja mereka memahami hadis secara
kontekstual.Tetapi dalam kenyataan sejarah tipe ini tidak begitu populer .
Berkaitan dengan pemahaman dengan
pendekatan kontekstual, para sahabat Nabi sudah mulai melakukannya, bahkan
ketika Nabi masih hidup. Apa yang dilakukan oleh sebahagian sahabat terhadap
hadis “jangan kamu shalat Ashar, kecuali di perkampungan Bani Quraidhah” (di
dalam peperangan Al Ahzab). merupakan sebuah contoh yang cukup layak. Sebagian
sahabat tersebut memahami hadis tersebut secara kontekstual dengan menangkap
maksud dan tujuan Nabi, sehingga mereka tetap melakukan shalat Ashar pada
waktunya di dalam perjalanan. Sedang sebagian lagi yang memahami secara
tesktual shalat Ashar di perkampungan Bani Quraidhah–meski hari telah gelap.
pendekatan tekstual yang dilakukan oleh sebagian sahabat haruslah diakui masih
dalam tahap sederhana. (maizuddin blog.maret.20,2010). Contoh lain ketika Nabi
bersabda” Orang yang paling cepat menyusulku adalah orang yang paling panjang
tangannya di antara kalian” mendengar ucapan rosul ini, para istri beliau ada
yang memahaminya secara hakiki, yaitu tangan yang panjang. Melihat fenomena ini
Aisyah berkomentar, bahwa mereka (para isteri Nabi yang lain) saling
memanjangkan tangannya guna mengetahui siapa diantara mereka yang paling
panjang tangannya guna mengetahui siapa diantara mereka yang cepat menyusul
rasul. Padahal Rasul tidak bermaksud demikian. “Panjang tangan” yang dimaksud
adalah dalam makna kiasan, yakni orang yang tinggi etos kerjanya(Banyak
melakukan kebaikan). Dalam hal ini ternyata isteri Nabi yang paling pertama
menyusul adalah Zainab binti Jahsy, seorang wanita yang kreatif, banyak
berkarya dan suka bersedekah(muslim 1988 :181).
Contoh lain, suatu ketika Ubay bin Ka’ab, yang
sedang dalam perjalanan menuju masjid, mendengar Nabi s.a.w bersabda, “ Ijlisu (duduklah
kalian ),” dan seketika itu juga Ubay duduk di jalan.Melihat hal itu, Nabi yang
mengetahui hal ini lalu bersabda kepadanya “ Zadaka Allah tha’atan”.
Dari
sini pemahaman kontekstual atas hadis menurut Edi Safri, adalah memahami
hadis-hadis Rasulullah dengan memperhatikan dan mengkaji keterkaitannya dengan
peristiwa atau situasi yang melatarbelakangi munculnya hadis-hadis tersebut,
atau dengan kata lain, dengan memperhatikan dan mengkaji konteksnya. (Edi
Safri, 1990: 160). Dengan demikian asbab al-wurud dalam kajian kontekstual
dimaksud merupakan bagian yang paling penting. Tetapi kajian yang lebih luas
tentang pemahaman kontekstual tidak hanya terbatas pada asbab al-wurud dalam
arti khusus seperti yang biasa dipahami, tetapi lebih luas dari itu meliputi:
konteks historis-sosiologis, di mana asbab al-wurud merupakan bagian darinya.
Dengan
demikian, pemahaman kontekstual atas hadis Nabi berarti memahami hadis
berdasarkan kaitannya dengan peristiwa-peristiwa dan situasi ketika hadis
diucapkan, dan kepada siapa pula hadis itu ditujukan. Artinya, hadis Nabi s.a.w
hendaknya tidak ditangkap makna dan maksudnya hanya melalui redaksi lahiriah
tanpa mengkaitkannya dengan aspek-aspek kontekstualnya. Meskipun di sini
kelihatannya konteks historis merupakan aspek yang paling penting dalam sebuah
pendekatan kontekstual, namun konteks redaksional juga tak dapat diabaikan.
Yang terakhir ini tak kalah pentingnya dalam rangka membatasi dan mengangkap
makna yang lebih luas (makna filosofis) sehingga hadis tetap menjadi komunikatif.
Dari
sini maka dalam pendekatan kontekstual, seperti apa yang dikatakan Qamaruddin
Hidayat, seorang penafsir atau pembaca lalu memposisikan sebuah teks (baca:
hadis) ke dalam sebuah jaringan wacana. Ibarat sebuah gunung es, sebuah teks
adalah fenomen kecil dari puncak gunung yang tanpak di permukaan. Oleh karena
itu tanpa mengetahui latar belakang sosial budaya dari mana dan dalam situasi
apa sebuah teks muncul, maka sulit mengangkap makna pesan dari sebuah teks.
(Komaruddin Hidayat, 1996: 214)
.
C. Dasar-dasar Tekstualisasi dan
kontekstualisasi
Ada
beberapa alasan mengapa kontekstualisasi menjadi sebuah keniscayaan. Menurut M.
Sa’ad alasan alasan tersebut adalah ( M.sa’ad ibrahim.2004:168-169).:
1. masyarakat yang dihadapi Nabi Muhammad s.a.w,bukan sama
sekali kosong dari pranata-pranata kultural yang tidak dinafikan semuanya oleh
kehadiran nas-nas yang menyebabakan sebagianya bersifat tipikal. Misalnya
pranata dzihar
"انت علي كظهر أمي" (bagiku engkau bak punggung ibuku). yang ungkapan tersebut hanya
berlaku bagi konteks budaya Arab, jika ditransfer dalam budaya keindonesiaan
maka jelas maknanya beda.
2.
Dalam keputusan Nabi sendiri telah memeberikan gambaran hukum yang
berbeda cengan alasan “situasi dan kondisi”.Misalnya tentang ziarah kubur,yang semula
dilarang karena kehawatiran terjebak kepada kekufuran dan setelah dipandang
masyarakat cukup mengerti akhirnya diperbolehkan.
3. Peran
sahabat sebgai pewaris Nabi-yang paling dekat sekaligus memahami dan menghayati
hadis Nabi dengan risalah yang diembannya-telah mencontohkan kontekstualisasi
nash(teks).Misalnya Umar bin Khattab pernah menyatakan bahwa hukum talak tiga
dalam sekali ucap yang asalnya jatuh satu talak menjadi jatuh tiga talak.
4. implementasi pemahaman
terhadap nash(teks)secara tekstual sering kali tidak sejalan dengan
kemashlahatan yang justru menjadi reason d”etre kehadiran islam itu
sendiri.
5. pemahaman tekstual secara
membabi buta berarti mengingkari adanya hukum perubahan dan keanekaragaman yang
justru diintroduksi oleh nash itu sendi
.6. pemahaman secara kontekstual yang
merupakan jalan menemukan moral ideal nash berguna untuk mengatasi
keterbatasan teks berhadapan denagn kontinuitas perubahan ketika dilakukan
perumusan legal spessifik yang baru.
7. penghargaan terhadap aktualisasi
intelektual manusia lebih dimungkinkan pada upaya pemahaman teks-teks islam
secara kontekstual.sebagai tradmark islam-al islamu din al- aqli wa
al-fikru(islam itu agama rasional dan intelaktual).
8. kontekstualisasi pemahaman
teks-teks islammengandung makna bahwa masyarakat dimana dan kapan saja selalu
dipandang positif optimis oleh islam yang di buktikan dengan sikap khasnya yang
akomodatif terhadap pranata sosial yang ada(mashlahat),yang terumks-tekuskan
dalam kaidah “al ‘aadatu Muhkamatun.(tradisi itu dipandang legal).
9. keyakinan bahwa teks-teks
islam adalah petunjuk terakhir dari langit yang berlaku sepanjang
masa,mengandung makna bahwa didalam teks yang terbatas tesebut memiliki
dinamika internal yang sangat kaya,yang harus terus menerus dilakukaneksternalisasi
melalui interprestasi yang tepat.
D.
Batas-batas Tekstualisasi Dan Kontekstualisasi
Batasan kontekstualisasi
meliputi dua hal, yaitu:
1. Dalam
ibadah mahdhoh(murni) .
Jika ada penambahan dan pengurangan untuk penyesuaian terhadap situasi dan kondisi, maka
hal tersebut adalah bid’ah.
2. Bidang diluar ibadah murni.
kontekstualisasi
dilakukan dengan tetap berpegang pada moral ideal nas, untuk selanjutnya
dirumuskan legal spesifik baru yang menggantikan legal spesifik lamanya.(M.Sa’ad Ibrahim,2004:168-169).
Sedangkan menurut Suryadi(makalah
Dr. Nurun Najwah, M.Ag.2005) batasan batasan Tekstual (normative) meliputi:
1. Ide
moral /ide dasar/tujuan dibalik teks (tersirat). Ide ini ditentukan dari makna
yang tersirat dari balik teks yang sifatnya universal,lintas ruang waktu
danintersubyektif.
2. Bersifat
absolute, prinsipil, universal, fundamental.
3. Mempunyai
visi keadilan, kesetaraan, demokrasi, mu’asyaroh bil ma’ruf.
4. Terkait
relasi antara manusia dan Tuhan yang bersifat universal. Artinya segala sesuatu
yang dapat dilakukan siapapun, kapanpun dan dimanapun tanpa terpengaruh oleh
letak geografis, budaya dan historis tertentu. Misalnya “shalat”dimensi
tekstualnya terletak pada keharusan seorang hamba untuk melakukannya
(berkomunikasi, menyembah dan beribadah) dalam kondisi apapun selama hayatnya.
Namun memasuki ranah “ bagaimana cara muslim melakuakan shalat, sangat
bergantung pada konteks sipelakunya.Maka tak heran banyak khilafiyyat pada
tataran praktisnya.
Adapun
batasan-batasan kontekstual( historis ) mencakup:
a.
Menyangkut
bentuk atau sarana yang tertuang secar tekstual.Dalam hal ini tidak seseorang
untuk mengikuti secara saklek(apa adanya. Sehingga bila ingin mengikuti Nabi
tidak harus berbahasa Arab, memberi nama arabisme berpakaian gamis ala timur
tengah dan sebagainya.karena itu produk budaya yang tentu secara dzahir antara
setiap wilayah bebeda.
b. Aturan yang menyangkut manusia sebagai
makhluk individu dan bioligis. Jika rasulu
llah makan hanya menggunakan tiga jari, maka kita tidak harus mengikuti dengan
tiga jari, karena kontek yang dimakan rasulullah kurma atau roti, sedangkan
bila kita makan nasi dan sayur asem harus tiga jari betapa malah tidak
efektifnya. Ide dasar yang dapat kita runut pada diri Nabi dalam konteks ini
adalah bagaimana makan makanan yang halal dan baik, tidak berlebihandan denagn
akhlak yang baik juga.
c.
Aturan yang menyangkut manusia sebagai makhluk
sosial, bagaimana manusia berhubungan dengan sesama.alam sektar, binatang
adalah wilayah kontekstual. Sebagaimana riwayat hadis Nabi” Antum a’lamu bi
umuri dunyakum. Ide dasar yang kita sandarkan pada Nabi adalah tidak
melanggar tatanan dalam rangka menjaga jiwa, kehormatan, keadilan dan persamaan
serta stabilitas secara umum sebagai wujud ketundukan pada sang pencipta.
d.
Terkait masalah sistem kehidupan bermasyarakat
dan bernegara, dimana kondisi sosial , politik, ekonomi dan budaya yang
sedemikian kompleks. Maka kondisi pada zaman Nabi tidak bisa di jadikan
parameter.
Untuk memahami hadis dengan tekstual
ataupun kontekstual kita bisa melihat dari sisi matan hadis, yang mana ungkapan
matan hadis mempunyai beberapa corak atau model, di antaranya:
a. Jawami’ al kalim (ungkapan singkat namun
padat maknanya).
Contoh:
اَلْحَرْبُ
خُدْعَـــــــــــة
Artinya : perang itu siasat( hadis
riwayat al-Bukhori,Muslim dan lain-lain,
dari jabir bin ‘Abdullah).pemahaman terhadap hadis tersebut sejalan
dengan teksnya,yakni bahwa setiap perang pastilah memakai siasat.
وَكُلُّ
مُسْـــكِرٍ حَـــرَامٌ كُلُّ مُسْـــكِرٍ
خَمْرٌ
Artinya
: Setiap minuman yang memabukkan adalah khomr dan setiap (minuman) yang
memabukkan adalah haram.(Hadis riwayat Al-Bukhori,Muslim dan lain-lain dari
ibnu ‘Umar dengan lafal dari riwayat muslim.Hadis tersebut secar tekstual
memberi petunjuk bahwa keharaman khomar tidak terikat oleh waktu dan tempat.
Dalam hubungannya kebijaksanaan dakwah,dispensasi kepada orang orang tertentu
diperbolehkan.
b. Bahasa tamsil.(perumpamaan)
contoh:
الَدُّنْيَا سِجْنُ
اْلمُؤْمِنِ وَجَنَّةُ اْلكَافِرِ
Artinya: dunia itu penjaranya orang yang beriman dan surganya orang
kafir. (Hadis riwayat Muslim,
al-Turmudzi, Ibnu Majah dan Ahmad bin Hambal, dari Abu Hurairah). Pemahaman
yang lebih tepat terhadap petunjuk hadis di atas adalah pemahaman secara
kontekstual,bahwa kata penjara dalam hadis itu memberi petunjuk adanya perintah
berupa kewajiban dan anjuran,disamping ada larangan berupa hukum haram dan
makruh. Ibarat penghuni penjara maka dibatasi hidupnya oleh berbagai perintah
dan larangan. Bagi orang kafir, dunia ini adalah surga, sebab dalam menempuh
hidup, dia bebas dari perintah dan larangan.
c. Ungkapan Simbolik
الْمُؤْمِنُ يَأْكُلُ فِيْ مِعًى
وَاحِدٍ وَاْلكَاِفرُ يَأكُلُ فِيْ سَبْعَةِ أَمْعَـــاء
Artinya:
Orang yang beriman itu makan dengan satu usus(perut), sedang orang kafir makan
dengan tujuh usus.(Hadis riwayat al-Bukhori, al-Turmudzi, dan ahmad, dari ibnu
Umar.
Secara tekstual hadis tersebut menjelaskan
bahwa usus orang beriman berbeda dengan usus orang kafir . padahal dalam
kenyataan yang lazim, perbedaan anatomi tubuh manusia tidak disebabakan oleh
perbedaan iman. Dengan demikian, pernyataan hadis itu merupakan ungkapan
simbolik. Itu harus dipahami secara kontekstual.yaitu menunjukkan perbedaan
sikap atau pandangan dalam menghadapi nikmat Allah. Orang mukmin memandang
makan bukan tujuan hidup sedang orang kafir memandang makan adalah sebagian
dari tujuan hidup. (Syuhudi ismail,1994:17)
d. Bahasa
Percakapan (Dialog).
Seperti empat macam matan hadis
yang menjelaskan amal-amal yang lebih utama atau lebih baik itu ternyata banyak.(Syuhudi
ismail:1994:18-20)
e.ungkapan
analogi
Seperti sebuah matan hadis yang menjelaskan
bahwa menyalurkan hasrat seksual ( kepada wanita yang halal ) adalah sedekah.
Atas pernyataan Nabi itu, para sahabat bertanya “Apakah menyalurkan hasrat
seksual kami (kepada isteri-isteri kami) mendapat pahala ?” Nabi menjawab :
Bagaiamanakah pendapatmu sekiranya hasrat seksual (seseorang ) disalurkannya di
jalan haram, apakah (dia) menanggung dosa?
Maka demikianlah, bila hasrat seksual disalurakn kejalan yang halal,dia
mendapat pahala. (Hadis riwayat Muslim dari Abu Dzar).
Analoginya
kalau penyaluran hasrat seksual secara haram adalah perbuatan dosa, maka
penyaluran hasrat seksual merupakan perbuatan yang diberi pahala.
BAB IV
KESIMPULAN
Dengan
demikian berarti ada hadis yang harus difahami secara tekstual saja. disisi
lain ada juga hadis yang kandungan petunjuknya mengarahkan pada pemahaman
kontekstual, serta ada pula yang dapat difahami secara tekstual dan kontekstual
sekaligus.
Melihat bahwa Nabi sangat
memeperhatikan situasi sosial budaya yang menjadi sasaran ucapan Nabi, maka
sudah seharusnya pendekatan kontekstual atas hadis Nabi terus dikembangkan.
Tetapi, ini hanya terhadap sebagian hadis-hadis Nabi yang difahami sebara
tekstual terasa tidak komunikatif lagi dengan zaman.
BAB VI
PENUTUP
Akhirnya
semoga kita semua terhindar dari pemahamn hadis yang salahh.segala kekeurangan
dari makalah ini kami tim penyusun maaf yang sebesar-a.wallahu ‘alam.
DAFTAR
PUSTAKA
Debdikbud
RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia,Jakarta, Balai Pustaka, 1998
ismail,syuhudi,
pemahaman hadis Nabi secara tekstual dan kontaekstual.
Sa’ad ibrahim M, Orisinalitas
dan perubahan dalam ajaran islam,Jurnal
At tahrir 2004:168-169).:
suryadi,Rekonstruksi
Metodologis pemahamn Hadis 2001
Tidak ada komentar:
Posting Komentar