Selasa, 05 Juni 2012

Pemahaman Hadits Tekstual Dan Kontekstual







PEMAHAMAN HADITS SECARA TEKSTUAL DAN KONTEKSTUAL

Makalah
Guna memenuhi tugas
Mata Kuliah Ulumul Hadits
Dosen pengampu: Bapak Ikhrom,M.Ag
Logo_IAINLogo_IAINLogo_IAIN



 

FAKULTAS TARBIYAH

INSTITUT AGAMA ISLAM  NEGERI WALISONGO

SEMARANG

2011

BAB I
PENDAHULUAN

Dalam hubugannya sebagai sumber pokok ajaran islam, hadis pada umummnya lebih merupakan penafsiran kontekstual dan situasional  atas - ayat ayat Al quran dalam merespons  pertanyaan para sahabat Nabi. dengan demikian hadis merupakan interpstasi Nabi saw  yang  dimaksudkan untuk         menjadi       pedoman bagi para sahabat   dalam    mengamalkan ayat- ayat   Al quran. Karena kondisi sahabat dan latar belakang kehidupannya berbeda, maka petunjuk – petunjuk yang diberikan Nabi berbeda pula. Pada sisi lain,para sahabat pun memeberikan interpretasi yang berbeda terhadap hadis Nabi. Dari sini, maka hadis pada umumnya bisa bersifat temporal dan kontekstual.
Situasi sosial budaya dan alam lingkungan semakin lama semakin terus berubah .dan berkembang.. Dengan semakin jauh terpisahnya hadis dari situasi sosial yang melahirkannya, maka sebagian hadis nabi sebagian terasa tidak komunikatif lagi dengan realitas kehidupan sosial saat ini. Karena itu pemahaman atas hadis Nabi merupakan hal yang mendesak tentu dengan acuan yang dapat dijadikan sebagai standarisasi dalam memahami hadis. Realitanya hadis Nabi banyak dipahami secara tekstual, bahkan belakangan gejala ini muncul dikalanagn generasi muda islam,tidak saja di Indonesia, tetapi juga di banyak negara islam lainnya. pendekatan ini (terhadap sebagian hadis Nabi merupakan suatu        keharusan ) tidak selamanya mampu memberikan jawaban terhadap persoalan-persoalan yag muncul belakangan, bahkan menjadi suatu kontradikif sehingga memalingkan kepercayaan terhadap hadis Nabi. Karena pemahaman seperti ini maka sebagian sarjana–sarjana muslim lantas menyerang hadis yang tampak kontradiktif dan tidak komunikatif dengan zaman meskipun ulama hadis menyatakan bahwa hadis tersebut dilihat dari kaedah-kaedah ilmu hadis yang demikian ketat, validitasnya diakui dan  makbul(shahih).
Karena itu upaya  atau pekajian terhada konteks-konteks hadis merupakan aspek yang sangat penting dalam menangkap makna hadis yang akan di amalkan, sayangnya menurut Afif Muhammad (Afif Muhammad,1992:25), pendekatan tekstual atas hadis Nabi belium begitu mendapatkan perhatian.
BAB II
RUMUSAN MASALAH
Betolak dari Kompetensi dasar Ulumul Hadis pada program kualifikasi bahasa arab 2011/2012 dan sedikit penjelasan tentang pemahaman hadis pada bab I, maka dapat kami rumuskan sebagai berikut :
1.      Cara memahami teks-teks hadis Rosulullah secara tekstual maupun kontekstual.
2.      Alasan-alasan mengapa  teks-teks hadis Rosulullah dipahami secara secara tekstual maupun kontekstual.
BAB III
PEMBAHASAN
A.     Pendekatan Kontekstual dalam Perkembangan Sejarah
            Menurut petunjuk Al quran, Nabi Muhammad diutus oleh Allah untuk semua umat manusia dan sebagai rahmat untuk seluruh alam.itu berarti, kehadiran Nabi Muhammad membawa kebajikan dan rahmat bagi semua umat mausia dalam segala waktu dan tempat, Dalam pada itu, Hidup Nabi Muhammad dibatasi oleh waktu dan tempat. kalau begitu hadis Nabi, yang merupakan sumber utama agama islam disamping al Quran, mengandung ajaran yang bersifat universal, temporal, dan lokal tersebut.
            Menurut petunjuk Al quran, Nabi Muhammad selain dinyatakan sebagai rasulullah, juga dinyatakan sebagai manusia biasa. Dalam sejarah Nabi Muhammad berperan banyak fungsi , antara lain sebagai rasulullah, kepala negara, pemimpin masyarakat, panglima perang, hakim, dan pribadi. Kalau  begitu,  hadis yang merupakan sesuatu yang berasal dari Nabi mengandung petunjuk yang pemahaman dan penerapannya perlu dikaitkan juga dengan peran Nabi tatkala hadis itu terjadi.(Syuhudi ismail,1994:2)Jadi keberadaan rasulullah s.a.w – peran apa yang sedang beliau mainkan-menjadi acuan untuk memahami hadis secara tepat dan proposional. Melalaui pendekatan tekstualkah atau kontekstualkah agar hadis tetap sholihun likullizamanin wamakanin. (http://media.isnet.org.islam/quraisy memebumi/hadis.html)
B.     Istilah Kontekstual
            Kata “kontekstual” berasal dari “konteks” yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia mengandung dua arti: 1. bagian sesuatu uraian atau kalimat yang dapat mendukung atau menambah kejelasan makna; 2. situasi yang ada hubungan dengan suatu kejadian.(Tim Penyusun Kamus: 1989: 458). Kedua arti ini dapat digunakan karena tidak terlepas istilah dalam kajian pemahaman Hadis. Dalam bahasa Arab digunakan istilah ‘alaqoh, qarinah,syiyaq al-kalam, dan qarain al-ahwal.(Imam Bsyari Anwar,1987:216 )
Secara garis besar ada dua tipologi  pemahaman ulama atas hadis:
1.                  Pemahaman atas hadis Nabi tanpa mempedulikan proses sejarah yang melahirkannya - ahistoris -.Tipologi ini dapat disebut Tekstualis. Atau menurut suryadi tekstualis adalah sebuah istilah yang dinisbatkan pada ulama yang dalam memmahami hadis cenderung memfokuskan pada data riwayat dengan menekankan kupasan dari sudut gramatikal bahasadengan pola pikir episteme bayani. Eksesnya,pemikiran-pemikiran ulama ulama terdahulu difahami sebagai sesuatu yang final dan dogmatis(suryadi,2001:141)
2.                  Pemahaman kritis dengan memepertimbangkan asal-usul (asbab al-wurud) hadis. Tentu saja mereka memahami hadis secara kontekstual.Tetapi dalam kenyataan sejarah tipe ini tidak begitu populer .
Berkaitan dengan pemahaman dengan pendekatan kontekstual, para sahabat Nabi sudah mulai melakukannya, bahkan ketika Nabi masih hidup. Apa yang dilakukan oleh sebahagian sahabat terhadap hadis “jangan kamu shalat Ashar, kecuali di perkampungan Bani Quraidhah” (di dalam peperangan Al Ahzab). merupakan sebuah contoh yang cukup layak. Sebagian sahabat tersebut memahami hadis tersebut secara kontekstual dengan menangkap maksud dan tujuan Nabi, sehingga mereka tetap melakukan shalat Ashar pada waktunya di dalam perjalanan. Sedang sebagian lagi yang memahami secara tesktual shalat Ashar di perkampungan Bani Quraidhah–meski hari telah gelap. pendekatan tekstual yang dilakukan oleh sebagian sahabat haruslah diakui masih dalam tahap sederhana. (maizuddin blog.maret.20,2010). Contoh lain ketika Nabi bersabda” Orang yang paling cepat menyusulku adalah orang yang paling panjang tangannya di antara kalian” mendengar ucapan rosul ini, para istri beliau ada yang memahaminya secara hakiki, yaitu tangan yang panjang. Melihat fenomena ini Aisyah berkomentar, bahwa mereka (para isteri Nabi yang lain) saling memanjangkan tangannya guna mengetahui siapa diantara mereka yang paling panjang tangannya guna mengetahui siapa diantara mereka yang cepat menyusul rasul. Padahal Rasul tidak bermaksud demikian. “Panjang tangan” yang dimaksud adalah dalam makna kiasan, yakni orang yang tinggi etos kerjanya(Banyak melakukan kebaikan). Dalam hal ini ternyata isteri Nabi yang paling pertama menyusul adalah Zainab binti Jahsy, seorang wanita yang kreatif, banyak berkarya dan suka bersedekah(muslim 1988 :181).
 Contoh lain, suatu ketika Ubay bin Ka’ab, yang sedang dalam perjalanan menuju masjid, mendengar Nabi s.a.w bersabda, “ Ijlisu (duduklah kalian ),” dan seketika itu juga Ubay duduk di jalan.Melihat hal itu, Nabi yang mengetahui hal ini lalu bersabda kepadanya “ Zadaka Allah tha’atan”.
Dari sini pemahaman kontekstual atas hadis menurut Edi Safri, adalah memahami hadis-hadis Rasulullah dengan memperhatikan dan mengkaji keterkaitannya dengan peristiwa atau situasi yang melatarbelakangi munculnya hadis-hadis tersebut, atau dengan kata lain, dengan memperhatikan dan mengkaji konteksnya. (Edi Safri, 1990: 160). Dengan demikian asbab al-wurud dalam kajian kontekstual dimaksud merupakan bagian yang paling penting. Tetapi kajian yang lebih luas tentang pemahaman kontekstual tidak hanya terbatas pada asbab al-wurud dalam arti khusus seperti yang biasa dipahami, tetapi lebih luas dari itu meliputi: konteks historis-sosiologis, di mana asbab al-wurud merupakan bagian darinya.
Dengan demikian, pemahaman kontekstual atas hadis Nabi berarti memahami hadis berdasarkan kaitannya dengan peristiwa-peristiwa dan situasi ketika hadis diucapkan, dan kepada siapa pula hadis itu ditujukan. Artinya, hadis Nabi s.a.w hendaknya tidak ditangkap makna dan maksudnya hanya melalui redaksi lahiriah tanpa mengkaitkannya dengan aspek-aspek kontekstualnya. Meskipun di sini kelihatannya konteks historis merupakan aspek yang paling penting dalam sebuah pendekatan kontekstual, namun konteks redaksional juga tak dapat diabaikan. Yang terakhir ini tak kalah pentingnya dalam rangka membatasi dan mengangkap makna yang lebih luas (makna filosofis) sehingga hadis tetap menjadi komunikatif.
Dari sini maka dalam pendekatan kontekstual, seperti apa yang dikatakan Qamaruddin Hidayat, seorang penafsir atau pembaca lalu memposisikan sebuah teks (baca: hadis) ke dalam sebuah jaringan wacana. Ibarat sebuah gunung es, sebuah teks adalah fenomen kecil dari puncak gunung yang tanpak di permukaan. Oleh karena itu tanpa mengetahui latar belakang sosial budaya dari mana dan dalam situasi apa sebuah teks muncul, maka sulit mengangkap makna pesan dari sebuah teks. (Komaruddin Hidayat, 1996: 214) .
C. Dasar-dasar Tekstualisasi dan kontekstualisasi
Ada beberapa alasan mengapa kontekstualisasi menjadi sebuah keniscayaan. Menurut M. Sa’ad alasan alasan tersebut adalah ( M.sa’ad ibrahim.2004:168-169).:
1. masyarakat yang dihadapi Nabi Muhammad s.a.w,bukan sama sekali kosong dari pranata-pranata kultural yang tidak dinafikan semuanya oleh kehadiran nas-nas yang menyebabakan sebagianya bersifat tipikal. Misalnya pranata dzihar
"انت علي كظهر أمي" (bagiku engkau bak punggung ibuku). yang ungkapan tersebut hanya berlaku bagi konteks budaya Arab, jika ditransfer dalam budaya keindonesiaan maka jelas maknanya beda.
                 2. Dalam keputusan Nabi sendiri telah memeberikan gambaran hukum yang berbeda cengan alasan “situasi dan kondisi”.Misalnya tentang ziarah kubur,yang semula dilarang karena kehawatiran terjebak kepada kekufuran dan setelah dipandang masyarakat cukup mengerti akhirnya diperbolehkan.
                 3. Peran sahabat sebgai pewaris Nabi-yang paling dekat sekaligus memahami dan menghayati hadis Nabi dengan risalah yang diembannya-telah mencontohkan kontekstualisasi nash(teks).Misalnya Umar bin Khattab pernah menyatakan bahwa hukum talak tiga dalam sekali ucap yang asalnya jatuh satu talak menjadi jatuh tiga talak.
                 4. implementasi pemahaman terhadap nash(teks)secara tekstual sering kali tidak sejalan dengan kemashlahatan yang justru menjadi reason d”etre kehadiran islam itu sendiri.
                 5. pemahaman tekstual secara membabi buta berarti mengingkari adanya hukum perubahan dan keanekaragaman yang justru diintroduksi oleh nash itu sendi
                 .6.  pemahaman secara kontekstual yang merupakan jalan menemukan moral ideal nash berguna untuk mengatasi keterbatasan teks berhadapan denagn kontinuitas perubahan ketika dilakukan perumusan legal spessifik yang baru.
                 7. penghargaan terhadap aktualisasi intelektual manusia lebih dimungkinkan pada upaya pemahaman teks-teks islam secara kontekstual.sebagai tradmark islam-al islamu din al- aqli wa al-fikru(islam itu agama rasional dan intelaktual).
                 8. kontekstualisasi pemahaman teks-teks islammengandung makna bahwa masyarakat dimana dan kapan saja selalu dipandang positif optimis oleh islam yang di buktikan dengan sikap khasnya yang akomodatif terhadap pranata sosial yang ada(mashlahat),yang terumks-tekuskan dalam kaidah “al ‘aadatu Muhkamatun.(tradisi itu dipandang legal).
                 9. keyakinan bahwa teks-teks islam adalah petunjuk terakhir dari langit yang berlaku sepanjang masa,mengandung makna bahwa didalam teks yang terbatas tesebut memiliki dinamika internal yang sangat kaya,yang harus terus menerus dilakukaneksternalisasi melalui interprestasi yang tepat.
                 D. Batas-batas Tekstualisasi Dan Kontekstualisasi
Batasan kontekstualisasi meliputi dua hal, yaitu:                              
1.    Dalam ibadah mahdhoh(murni) .
Jika ada penambahan dan pengurangan untuk  penyesuaian terhadap situasi dan kondisi, maka hal tersebut adalah bid’ah.
2.  Bidang diluar ibadah murni.
            kontekstualisasi dilakukan dengan tetap berpegang pada moral ideal nas, untuk selanjutnya dirumuskan legal spesifik baru yang menggantikan legal spesifik  lamanya.(M.Sa’ad Ibrahim,2004:168-169).
            Sedangkan menurut Suryadi(makalah Dr. Nurun Najwah, M.Ag.2005) batasan batasan Tekstual (normative) meliputi:
1.    Ide moral /ide dasar/tujuan dibalik teks (tersirat). Ide ini ditentukan dari makna yang tersirat dari balik teks yang sifatnya universal,lintas ruang waktu danintersubyektif.
2.    Bersifat absolute, prinsipil, universal, fundamental.
3.    Mempunyai visi keadilan, kesetaraan, demokrasi, mu’asyaroh bil ma’ruf.
4.    Terkait relasi antara manusia dan Tuhan yang bersifat universal. Artinya segala sesuatu yang dapat dilakukan siapapun, kapanpun dan dimanapun tanpa terpengaruh oleh letak geografis, budaya dan historis tertentu. Misalnya “shalat”dimensi tekstualnya terletak pada keharusan seorang hamba untuk melakukannya (berkomunikasi, menyembah dan beribadah) dalam kondisi apapun selama hayatnya. Namun memasuki ranah “ bagaimana cara muslim melakuakan shalat, sangat bergantung pada konteks sipelakunya.Maka tak heran banyak khilafiyyat pada tataran praktisnya.
Adapun batasan-batasan kontekstual( historis ) mencakup:
a.             Menyangkut bentuk atau sarana yang tertuang secar tekstual.Dalam hal ini tidak   seseorang untuk mengikuti secara saklek(apa adanya. Sehingga bila ingin mengikuti Nabi tidak harus berbahasa Arab, memberi nama arabisme berpakaian gamis ala timur tengah dan sebagainya.karena itu produk budaya yang tentu secara dzahir antara setiap wilayah bebeda.
b.        Aturan yang menyangkut manusia sebagai makhluk individu dan bioligis. Jika   rasulu llah makan hanya menggunakan tiga jari, maka kita tidak harus mengikuti dengan tiga jari, karena kontek yang dimakan rasulullah kurma atau roti, sedangkan bila kita makan nasi dan sayur asem harus tiga jari betapa malah tidak efektifnya. Ide dasar yang dapat kita runut pada diri Nabi dalam konteks ini adalah bagaimana makan makanan yang halal dan baik, tidak berlebihandan denagn akhlak yang baik juga.
c.              Aturan yang menyangkut manusia sebagai makhluk sosial, bagaimana manusia berhubungan dengan sesama.alam sektar, binatang adalah wilayah kontekstual. Sebagaimana riwayat hadis Nabi” Antum a’lamu bi umuri dunyakum. Ide dasar yang kita sandarkan pada Nabi adalah tidak melanggar tatanan dalam rangka menjaga jiwa, kehormatan, keadilan dan persamaan serta stabilitas secara umum sebagai wujud ketundukan pada sang pencipta.
d.             Terkait masalah sistem kehidupan bermasyarakat dan bernegara, dimana kondisi sosial , politik, ekonomi dan budaya yang sedemikian kompleks. Maka kondisi pada zaman Nabi tidak bisa di jadikan parameter.
          Untuk memahami hadis dengan tekstual ataupun kontekstual kita bisa melihat dari sisi matan hadis, yang mana ungkapan matan hadis mempunyai beberapa corak atau model, di antaranya:
 a.   Jawami’ al kalim (ungkapan singkat namun padat maknanya).
            Contoh:
            اَلْحَرْبُ خُدْعَـــــــــــة  
Artinya : perang itu siasat( hadis riwayat al-Bukhori,Muslim dan lain-lain,     dari jabir bin ‘Abdullah).pemahaman terhadap hadis tersebut sejalan dengan teksnya,yakni bahwa setiap perang pastilah memakai siasat.
        وَكُلُّ  مُسْـــكِرٍ حَـــرَامٌ      كُلُّ  مُسْـــكِرٍ  خَمْرٌ
 Artinya : Setiap minuman yang memabukkan adalah khomr dan setiap (minuman) yang memabukkan adalah haram.(Hadis riwayat Al-Bukhori,Muslim dan lain-lain dari ibnu ‘Umar dengan lafal dari riwayat muslim.Hadis tersebut secar tekstual memberi petunjuk bahwa keharaman khomar tidak terikat oleh waktu dan tempat. Dalam hubungannya kebijaksanaan dakwah,dispensasi kepada orang orang tertentu diperbolehkan.
 b. Bahasa tamsil.(perumpamaan)
contoh:
 الَدُّنْيَا  سِجْنُ  اْلمُؤْمِنِ  وَجَنَّةُ   اْلكَافِرِ                              
Artinya:  dunia itu penjaranya orang yang beriman dan surganya orang kafir. (Hadis   riwayat Muslim, al-Turmudzi, Ibnu Majah dan Ahmad bin Hambal, dari Abu Hurairah). Pemahaman yang lebih tepat terhadap petunjuk hadis di atas adalah pemahaman secara kontekstual,bahwa kata penjara dalam hadis itu memberi petunjuk adanya perintah berupa kewajiban dan anjuran,disamping ada larangan berupa hukum haram dan makruh. Ibarat penghuni penjara maka dibatasi hidupnya oleh berbagai perintah dan larangan. Bagi orang kafir, dunia ini adalah surga, sebab dalam menempuh hidup, dia bebas dari perintah dan larangan.
c. Ungkapan Simbolik           
الْمُؤْمِنُ يَأْكُلُ فِيْ مِعًى وَاحِدٍ وَاْلكَاِفرُ يَأكُلُ فِيْ سَبْعَةِ أَمْعَـــاء
Artinya: Orang yang beriman itu makan dengan satu usus(perut), sedang orang kafir makan dengan tujuh usus.(Hadis riwayat al-Bukhori, al-Turmudzi, dan ahmad, dari ibnu Umar.
                  Secara tekstual hadis tersebut menjelaskan bahwa usus orang beriman berbeda dengan usus orang kafir . padahal dalam kenyataan yang lazim, perbedaan anatomi tubuh manusia tidak disebabakan oleh perbedaan iman. Dengan demikian, pernyataan hadis itu merupakan ungkapan simbolik. Itu harus dipahami secara kontekstual.yaitu menunjukkan perbedaan sikap atau pandangan dalam menghadapi nikmat Allah. Orang mukmin memandang makan bukan tujuan hidup sedang orang kafir memandang makan adalah sebagian dari tujuan hidup. (Syuhudi ismail,1994:17)
d. Bahasa Percakapan (Dialog).
                 Seperti empat macam matan hadis yang menjelaskan amal-amal yang lebih utama atau lebih baik itu ternyata banyak.(Syuhudi ismail:1994:18-20)
e.ungkapan analogi
                  Seperti sebuah matan hadis yang menjelaskan bahwa menyalurkan hasrat seksual ( kepada wanita yang halal ) adalah sedekah. Atas pernyataan Nabi itu, para sahabat bertanya “Apakah menyalurkan hasrat seksual kami (kepada isteri-isteri kami) mendapat pahala ?” Nabi menjawab : Bagaiamanakah pendapatmu sekiranya hasrat seksual (seseorang ) disalurkannya di jalan haram, apakah (dia) menanggung dosa?  Maka demikianlah, bila hasrat seksual disalurakn kejalan yang halal,dia mendapat pahala. (Hadis riwayat Muslim dari Abu Dzar).
Analoginya kalau penyaluran hasrat seksual secara haram adalah perbuatan dosa, maka penyaluran hasrat seksual merupakan perbuatan yang diberi pahala.
BAB IV
KESIMPULAN
                 Dengan demikian berarti ada hadis yang harus difahami secara tekstual saja. disisi lain ada juga hadis yang kandungan petunjuknya mengarahkan pada pemahaman kontekstual, serta ada pula yang dapat difahami secara tekstual dan kontekstual sekaligus.
                 Melihat bahwa Nabi sangat memeperhatikan situasi sosial budaya yang menjadi sasaran ucapan Nabi, maka sudah seharusnya pendekatan kontekstual atas hadis Nabi terus dikembangkan. Tetapi, ini hanya terhadap sebagian hadis-hadis Nabi yang difahami sebara tekstual terasa tidak komunikatif lagi dengan zaman.
BAB VI
PENUTUP
                 Akhirnya semoga kita semua terhindar dari pemahamn hadis yang salahh.segala kekeurangan dari makalah ini kami tim penyusun maaf yang sebesar-a.wallahu ‘alam.


DAFTAR PUSTAKA
Debdikbud RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia,Jakarta, Balai Pustaka, 1998
ismail,syuhudi, pemahaman hadis Nabi secara tekstual dan kontaekstual.
Sa’ad ibrahim M, Orisinalitas dan perubahan dalam ajaran islam,Jurnal  At tahrir 2004:168-169).:
suryadi,Rekonstruksi Metodologis pemahamn Hadis 2001







Tidak ada komentar:

Posting Komentar